Friday, May 4, 2007

DE-BIROKRATISASI

LANGKAH RADIKAL UNTUK SEBUAH
PROFESIONALISME BIROKRASI


Ada banyak penyebab mengapa bangsa Indonesia terpuruk seperti saat ini, salah satu yang paling mendasar adalah tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi “penyumbang” timbulnya KKN tersebut. Aparat birokrasi di Indonesia sangat terkenal dengan keterlambatan, malas, tidak efisien, kurang tanggap, tidak inovatif, rendah moral, budaya minta dilayani dll. Intinya sangat minim dengan profesionalisme. Selama bertahun-tahun masyarakat yang sadar bahwa birokrasi Indonesia tidak profesional hanya bisa “bermimpi” memperoleh pelayanan birokrasi yang profesional. Bisakah mimpi masyarakat diwujudkan?, nampaknya perlu langkah plus tindakan radikal yang harus dilakukan oleh unsur penyelenggara negara untuk mewujudkannya. Walaupun disadari langkah dan tindakan tersebut tetap berpotensi menghadapi implikasi-implikasi sosial politik yang sangat tinggi khususnya dari lingkungan birokrasi.

Langkah radikal yang perlu diambil akan menyangkut antara lain: perubahan peraturan perundangan menyangkut segala pengaturan mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI; Perombakan dalam sistem administrasi pengelolaan penganggaran khususnya yang mengatur penggunaan APBN/APBD; Pegurangan jumlah PNS untuk memperoleh jumlah PNS yang proporsional dan sesuai dengan tugasnya. Langkah-langkah tersebut bukannya berdiri sendiri-sendiri tetapi sangat terkait satu dengan lainnya.

Peraturan perundangan yang menyangkut mengenai pengaturan birokrasi lebih banyak merupakan produk-produk selama orde baru, dimana pada masa itu PNS telah dijadikan alat politik kekuasaan untuk dapat dijadikan mesin politik dan sekaligus untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu pengaturan tersebut tidak mencerminkan penyelenggaraan birokrasi yang profesional. Walaupun semenjak reformasi telah dicanangkan untuk melakukan perombakan birokrasi, namun upaya tersebut tidak dilakukan menyeluruh sehingga hasilnya belum tampak secara signifikan.

Kelemahan pengaturan yang menghambat menuju ke taraf birokrasi profesional meliputi antara lain:
1. Belum adanya sistem yang akurat dalam menilai “kinerja” masing-masing aparat birokrasi sesuai dengan kompetensinya.
Contoh: lemahnya penerapan sistem “reward and punishment”. Sampai saat ini masih terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kerja dan malas, karena tetap berpenghasilan sama.
2. Belum jelasnya sistem pola karir dalam menjaring aparat-aparat yang berkualitas sesuai kompetensinya, dengan tujuan akhir mendapatkan pimpinan-pimpinan yang berkualitas.
3. Masih lemahnya penerapan penegakan hukum disiplin aparat. Contoh: sangat sulit untuk memecat PNS, walaupun yang bersangkutan katakanlah telah ingkar kerja beberapa hari dalam setiap minggunya. Aturan yang ada membuat senang “aparat malas kerja” sekaligus menyulitkan para atasan yang ingin menegakkan disiplin.

Maka langkah perubahan peraturan perundangan birokrasi yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan aturan yang memuat ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Aturan baru yang tercipta harus mampu membuat jera para birokrat, misal: a) menciptakan kemudahan untuk dapat memberi sanksi kepada aparat yang ingkar kerja tanpa alasan jelas, kalau perlu diciptakan kemudahan untuk dapat memecat, atau b) aparat yang sudah jadi minimal tersangka kasus tindak pidana kejahatan (korupsi, narkoba, pungli, memeras dll) langsung dilakukan pemecatan. Disamping itu aturan baru juga dapat menggairahkan birokrat yang berkinerja bagus malalui kemudahan untuk memperoleh insentif-insentif yang konkret misal: naik pangkat, naik gaji, promosi, beasiswa untuk keluarganya dsb. Tentu saja pengaturan yang ketat dan tegas ini harus diiringi dengan gaji yang memadai, yang salah satunya dapat diperoleh melalui perombahakan dalam sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD.

Sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD yang berlaku saat ini (walaupun menurut Departemen Keuangan telah dilakukan beberapa perbaikan) masih menampakkan celah-celah bagi para birokrat melakukan manipulasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD. Ditinjau dari struktur masih menampakkan item-item kegiatan yang sangat boros menggunakan biaya, misal: kemudahan pengadaan sarana/prasarana yang tidak prioritas (pengadaan kendaraan dinas, pembangunan gedung, pembelian alat-tulis kantor), masih dominannya biaya untuk perjalanan dinas para birokrat yang tumpang tindih bahkan ada anekdot “1 bulan bisa mencapai 40 hari”, kemudahan mengadakan seminar/lokakarya atau rapat pembahasan yang dibiayai oleh negara. Ditinjau dari sisi pelaksanaan kegiatan dan administrasi pertanggungjawaban masih menggunakan cara-cara lama, misal: aparat yang melakukan perjalanan dinas keluar kota akan memperoleh penggantian ongkos transport dan lumpsum harian dengan bukti “visum” pada surat perintah perjalanan dinas (SPPD), padahal bisa saja dipraktekkan ybs tidak melakukan perjalanan tapi cukup “mengirim” SPPDnya.

Praktek pengelolaan penggunaan dana APBN/APBD seperti beberapa contoh di atas baik secara struktur maupun praktek harus dirubah total, dengan menggunakan misalnya sistem yang dipraktekkan dalam perusahaan-perusahaan swasta. Contoh kecil yang mungkin efektif dapat digambarkan sebagai berikut: aparat yang akan melakukan perjalanan dinas sudah disediakan tiket tranportnya sekaligus tempat ybs menginap dengan dibekali uang harian sekadarnya. Perombakan dalam sistem pengelolaan penganggaran APBN/APBD akan sangat menghemat anggaran, sekaligus penghematan tersebut dapat dipergunakan untuk memperbaiki struktur gaji birokrat sehingga layak untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Yang terakhir terkait dengan banyaknya jumlah birokrat di jajaran pusat maupun daerah. Secara kasat mata akan nampak bahwa birokrasi kita sangat gemuk namun miskin kinerja dan pelayanan prima kepada masyarakat. Gemuknya birokrasi merupakan warisan “orde baru”, pada masa itu rekruitmen pegawai sangat kental diwarnai kepentingan politis (termasuk salah satunya tindakan populis melalui penyerapan tenaga kerja) dan bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), sehingga terjadi pengabaian terhadap uji kompetensi terhadap calon birokrat yang bersangkutan. Kesalahan dalam sistem rekruitmen seperti itu telah melahirkan sebagian besar birokrat yang tidak sadar bahwa dia sebenarnya adalah “abdi negara”, palayan masyarakat yang dalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh uang rakyat. Yang terjadi adalah minimnya kreatifitas, efektivitas dalam melaksanakan pekerjaan.

Oleh karena itu, tindakan pengaturan jumlah birokrat sangat urgen untuk dilaksanakan, dengan konsekwensi pengurangan secara besar-besaran terhadap para birokrat yang tidak produktif serta yang kerjanya hanya mengganggu pelayanan kepada masyarakat.
Pengurangan secara radikal tersebut harus dilandasi oleh kajian, argumentasi serta dukungan peraturan perundangan yang jelas, transparan dan berkeadilan, termasuk mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat (misal: guru, dosen, perawat, dokter). Hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerapan kebijakan tersebut. Pengurangan ini harus secara significan menjaring para birokrat yang potensial untuk bekerja efektif serta layak untuk mendukung birokrasi yang profesional. Bagaimana dengan birokrat yang tersingkir ?, untuk para birokrat disediakan beberapa alternatif pilihan yang dirancang untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintah sengaja ingin menciptakan pengangguran baru dan harus ada penyadaran pada semua pihak bahwa pengurangan para birokrat tersebut semata-mata untuk menyelamatkan uang rakyat, serta bahwa para birokrat tersebut apabila digaji maupun tidak digaji tidak merpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat. Alternatif-alternatif yang dapat diajukan antara lain: pensiun dini dengan pesangon beberapa kali gaji (ingat bahwa birokrat tersebut masih mendapatkan uang pensiun walaupun sudah tidak bekerja).

Tindakan-tindakan radikal tersebut harus didahului dengan sosialisasi dan kalau perlu semacam gerakan nasional kepada para pihak yang terkait untuk mendapatkan respon sekaligus untuk mengetes sampai seberapa jauh reaksi ekonomi-politik berbagai pihak terhadap kebijakan dimaksud. Respon dan reaksi ekonomi-politik dapat untuk memperkaya kajian dan analisis lebih lanjut terhadap tindakan radikal itu, sehingga kebijakan yang akan diambil dapat meminimalisir resistensi beberapa pihak serta mendapatkan dukungan publik yang luas.

Mendambakan birokrasi profesional memang seolah “mimpi di siang bolong”, dia termasuk barang langka di negeri ini. Tapi kalau ada tindakan radikal yang dapat mewujudkan mimpi tersebut, mengapa tidak dicoba?.

Reforma Agraria

KESIAPAN SEKTOR KEHUTATAN
DALAM REFORMA AGRARIA

Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menggulirkan kebijakan untuk melakukan reformasi agraria (land-reform) dalam bentuk pembagian lahan kepada masyarakat miskin dan beberapa lembaga (perusahaan) kecil dengan kriteria tertentu pada areal seluas 8.15 juta Ha hingga tahun 2014. Lahan-lahan yang dipersiapkan antara lain berasal dari lahan negara yang terlantar, lahan HGU yang telah habis masa ijinnya, Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK). Jelas terlihat bahwa reformasi agraria menuntut sektor kehutanan untuk berperan besar dalam kesuksesan pelaksanaannya melalui penyediaan kawasan hutannya, khususnya di HPK. Tentu ini menuntut kesiapan sektor kehutanan dalam mendukung kebijakan pemerintah tersebut.

Dalam kebijakannya selama ini, Pemerintah (cq. Departemen Kehutanan) sangat jarang melakukan pembagian lahan kawasan hutan secara “gratis” kepada masyarakat. Segala sesuatu yang terkait dengan pemakaian kawasan hutan, apalagi merubah peruntukan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan telah ada prosedurnya, dan dalam prosedur-prosedur tersebut tidak ada yang mengatur pembagian lahan kawasan hutan secara “gratis” kepada pihak lain, termasuk kepada masyarakat miskin.

Di sisi lain, penanganan permasalahan konflik lahan yang terjadi di hampir sebagian besar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hingga saat ini belum menampakkan hasil yang signifikan, bahkan boleh dikatakan permasalahan-permasalahan tersebut telah tidak dengan sengaja diambangkan, seolah terjadi pembiaran. Pengambangan itu cukup beralasan, karena permasalahan konflik lahan sangat specifik lokal, perbedaan persepsi/pemahaman terhadap “kawasan hutan” antar pihak terkait, belum adanya kebijakan dan payung hukum yang tegas terhadap penanganan ini, serta lemahnya data-base kawasan hutan yang ada di Departemen Kehutanan.

Dengan menengok selintas permasalahan konflik lahan dalam kawasan hutan, dikawatirkan kebijakan reformasi agraria, khususnya yang menyangkut kawasan HPK akan semakin memperuwet dan memperkeruh keadaan.


Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah segera dari Departemen Kehutanan untuk mengantisipasi implementasi dari kebijakan tersebut. Uraian berikut mencoba memberi sedikit gambaran permasalahan yang mungkin terjadi serta alternatif langkah apa yang layak segera diambil.

KONDISI HPK

Sesuai dengan PP. No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan PP. No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, kawasan hutan merupakan bagian dari tata ruang nasional, yang wilayahnya dikuasai oleh Negara. Dalam pembagian wilayah kawasan sesuai fungsinya yaitu Lindung dan Budidaya, maka kawasan hutan diatur sebagai berikut:
1. Kawasan Hutan yang berfungsi lindung, yaitu: a) Hutan Lindung (HL), b) Kawasan Pelestarian Alam, yang meliputi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA), Taman Wisata Alam (TWA), c) Kawasan Suaka Alam, yang meliputi: Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), dan d) Taman Buru
2. Kawasan Hutan yang berfungsi budidaya, yaitu: Hutan Produksi, yang meliputi: Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. (HPK).

Lebih lanjut dalam PP tersebut ditetapkan kriteria HPK, sebagai berikut:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Kawasan/Hutan Suaka Alam dan Kawasan/Hutan Pelestarian Alam.
2. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transportasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan lain-lain.

Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan, telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan dari mulai Undang-Undang (UU) sampai dengan Surat Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri, dan kawasan hutan yang dapat dirubah peruntukannya adalah HPK. Peraturan perundangan tersebut antara lain:
- UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
- SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan status dan fungsi Kawasan Hutan. Serta Perubahannya melalui SK Menut No. 48/Menhut-II/2004.
- SK Menhut No. 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan. Serta perubahannya melalui Permenhut No. P.66/Menhut-II/2006.
- SKB Menteri kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN No. 364/Kpts-II/1990, No.519/Kpts/HK.050/7/90, No. 23-VIII-1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Pengembangan Usaha Pertanian.
- Kepmenhut No. 418/Kpts-II/1993 Tentang Penetapan Tambahan Persyaratan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Pertanian. Serta Perubahannya melalui SK Menhut No. 250/Kpts-II/1996.
- Permenhut No. P.13/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.
- SKB Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menteri Menteri Kehutanan No. SKB.126/MEN/1994, No. 422/Kpts-II/1994 tentang Pelepasan Areal Hutan Untuk pemukiman Transmigrasi.

Namun demikian dari sekian banyak peraturan perundangan yang telah diterbitkan belum ada satupun yang mengatur mengenai pembagian lahan untuk kepentingan land-reform. (Kecuali apabila lahan kawasan HPK yang diberikan kepada para transmigrasi dalam proyek transmigrasi selama ini disebut sebagai pembagian lahan secara gratis). Ketentuan mengenai hal ini nampaknya akan disatukan dalam satu payung hukum tersendiri dan merupakan bagian dari peraturan perundangan yang dipersiapkan untuk Reformasi Agraria secara keseluruhan.

Data Departemen Kehutanan tahun 2005 menunjukkan bahwa HPK menempati areal seluas sekitar 22,73 juta Ha, dengan rincian luasan sebagai berikut: Sumatera sekitar 5,73 juta Ha, Kalimantan sekitar 5,01 juta Ha, Sulawesi 585 ribu Ha, Jawa 0 Ha, Bali-Nusa Tenggara sekitar 114 ribu Ha, Maluku sekitar 2,49 juta Ha serta Papua sekitar 8,78 juta Ha. Dengan catatan untuk Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau masih memakai data Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang Kawasan HPKnya masih tercampur dengan Areal Penggunaan Lain (APL). Di luar provinsi Kalteng dan Riau, tercatat HPK yang dapat dipergunakan untuk kepentingan non kehutanan mencapai luasan sekitar 13,72 juta Ha.

Mengingat kawasan HPK merupakan kawasan yang dicadangkan untuk sektor non kehutanan bagi pengembangan dan pembangunan berbagai kegiatan, maka dalam dinamikanya luasan tersebut tentunya telah mengalami penyusutan. Disamping itu kawasan HPK merupakan satu bagian dari keseluruhan kawasan hutan yang saat ini mengalami berbagai tekanan khususnya konflik lahan, sehingga luasan jutaan hektar yang digambarkan dalam data kehutanan tersebut sebenarnya belum mencerminkan apakah merupakan wilayah yang memang seluruhnya potensial untuk dijadikan obyek reformasi agraria.

Secara umum kondisi riil kawasan HPK di lapangan mengindikasikan bahwa masih terdapat permasalahan-permasalahan yang cukup krusial. Identifikasi sepintas posisi keberadaan HPK sampai saat ini memperlihatkan hal tersebut, gambaran berikut mengilustrasikan beberapa kondisi permasalahan riil lapangan.

Pertama, Di tingkat Kota/Kabupaten, Pemerintah Daerah (Pemda) telah mencadangkan/merencanakan areal kawasan hutan secara umum (termasuk HPK) untuk pengembangan sektor non kehutanan (pertanian, perkebunan, pemukiman dll), yang dalam perencanaannya belum memperhatikan/mempertimbangkan penunjukan kawasan hutan provinsi yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Rencana pemanfaatan untuk sektor di luar kehutanan tersebut nampak dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota di berbagai daerah yang sedang maupun telah disusun. Bahkan di beberapa provinsi telah ada rencana-rencana review RTRWP yang tidak memperhitungkan penunjukan kawasan hutan.

Kedua, Masih banyaknya klaim-klaim masyarakat, baik secara individu maupun kelompok (termasuk kelompok masyarakat adat) terhadap lahan yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan. Klaim-klaim masyarakat ini rata-rata belum ditemukan jalan keluarnya. Departemen Kehutanan masih menganggap bahwa masyarakat telah merambah atau menduduki kawasan hutan sehingga ada kecenderungan masyarakat yang dipersalahkan, sedangkan masyarakat beranggapan lahan tersebut adalah miliknya atau kelompoknya. Dalam kasus ini memang banyak variasinya dan berbeda antara daerah satu dan lainnya. Ada masyarakat yang telah menempati kawasan hutan sejak lama, jauh sebelum kawasan hutan ditunjuk. Ada masyarakat yang telah bermukin setelah kawasan hutan ditunjuk dan kawasan tersebut telah berkembang, bahkan telah menjadi desa . Ada masyarakat yang memang menduduki/merambah kawasan hutan dengan pura-pura tidak tahu, bahkan kadang didukung oleh para pemilik modal di kota.

Ketiga, Di tingkat Nasional terdapat banyak permohonan di areal HPK untuk pencadangan bagi pengembangan dan pembangunan di luar sektor kehutanan, dan biasanya areal yang dimohon tersebut membutuhkan lahan yang cukup luas (rata-rata dalam ribuan Ha). Permohonan-permohonan ini tentunya akan ikut mengurangi luasan areal kawasan HPK yang akan dicadangkan untuk reformasi agraria.

Keempat, Dari areal HPK seluas 13,72 juta Ha yang dimungkinkan untuk obyek reformasi agraria separuh lebih (8,78 juta Ha atau 64 %) terdapat di provinsi Papua, yang dengan adanya UU Otonomi khusus Papua akan menyebabkan reformasi agraria di Papua bukan merupakan hal yang mudah untuk direalisasikan.

LANGKAH ANTISIPASI

Mengacu pada kompleknya permasalahan dan memperhatikan strategisnya kebijakan Nasional reformasi agraria, maka diperlukan langkah-langkah antisipasi khususnya dari Departemen Kehutanan dalam mendukung kebijakan tersebut. Langka-langkah yang disarankan berikut diharapkan dapat membantu sektor kehutanan dalam mempersiapkan diri menyongsong kebijakan reformasi agraria.

Pertama, Segera melakukan identifikasi kawasan HPK yang memungkinkan untuk dijadikan obyek reformasi agraria, disamping itu identifikasi juga harus didukung data informasi lapangan. Hasil identifikasi ini lalu ditampilkan dalam peta yang dilengkapi dengan gambaran luas dan lokasi, kondisi lahan, potensi permasalahan, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Langkah identifikasi ini dapat diintegrasikan sekaligus dengan panataan database kawasan hutan yang saat ini sedang dilakukan oleh Departemen Kehutanan (cq. Badan Planologi Kehutanan). Langkah ini akan memerlukan dukungan pendanaan yang cukup besar serta SDM yang memadai. Diharapkan dari kegiatan ini dapat diketahui dengan jelas luasan kawasan HPK yang dapat dijadikan obyek reformasi agraria.

Kedua, Menyiapkan konsep regulasi (payung hukum) baik yang akan dimasukkan dalam rancangan pengaturan reformasi agraria di tingkat Nasional yang dikoordinasikan oleh BPN, maupun tingkat Departemen Kehutanan. Penyiapan konsep seyogyanya diawali dengan melakukan kajian-kajian peraturan perundangan bidang pertanahan dan kehutanan untuk mendapatkan aspek-aspek hukum yang benar-benar tetap sasaran dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Disamping itu penyiapan ini harus selalu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang telah diambil dalam menangani kasus-kasus konflik lahan dalam kawasan hutan.

Ketiga, Selalu aktif melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), untuk mengetahui perkembangan proses kebijakan reformasi agraria secara Nasional, sekaligus untuk memastikan berapa kontribusi sektor kehutanan dalam bentuk luasan kawasan HPK yang diminta untuk dapat dijadikan obyek reformasi agraria.
Disamping itu dalam koordinasi ini perlu penegasan terhadap tugas dan tanggung jawab masing-masing sektor (Departemen), sesuai dengan bidang tugasnya, jangan sampai timbul tumpang tindih ataupun gap.

Keempat, Aktif mendorong daerah (Dinas Kehutanan atau Balai Pemantapan Kawasan Hutan sebagai UPT Planologi Kehutanan) untuk selalu memonitor dan melaporkan perkembangan yang terjadi dalam permasalahan-permasalahan lahan dalam kawasan hutan di daerah.

Kelima, Mengintegrasikan penanganan kegiatan ini dengan kebijakan prioritas Departemen Kehutanan termasuk untuk memastikan dukungan dana/anggaran bagi kegiatan reformasi agraria di lingkup Departemen. Seperti diketahui reformasi agraria bukan merupakan kebijakan prioritas dan fokus kegiatan Departemen Kehutanan s/d 2009.

Keenam, Apabila dipandang perlu dapat dibentuk semacam task force, yang beranggotakan personil-personil berdedikasi dengan tugas khusus terfokus pada penanganan kesiapan sektor kehutanan dalam mendukung kebijakan reformasi agraria.

Langkah-langkah tersebut bukanlah merupakan jaminan bahwa sektor kehutanan akan siap dan sukses dalam mendukung kebijakan Nasional reformasi agraria, tetapi paling tidak sektor kehutanan tidak tergopoh-gopoh dalam menyikapi langkah-langkah kegiatan implementatif dari kebijakan reformasi agraria yang akan diambil oleh Pemerintah.