Tuesday, September 18, 2007

Pemberdayaan Masyarakat

PROFIL SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
DI DALAM DAN SEKITAR KAWASAN HUTAN


PENDAHULUAN

Dalam upayanya untuk mencapai pembangunan sektor kehutanan yang optimal, pemerintah (cq. Departemen kehutanan) telah menetapkan 5 kebijakan prioritas untuk ditangani dalam kurun waktu 5 tahun (2005-2009), masing-masing adalah: Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, Rehabilitasi dan konservasi Sumberdaya Hutan, Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, serta Pemantapan kawasan hutan.

Pemberdayaan ekonomi di dalam dan sekitar hutan merupakan salah satu kebijakan prioritas yang sangat terkait dengan isu nasional paling strategis yaitu “penanggulangan kemiskinan”. Keberhasilannya akan sangat signifikan dalam mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan secara nasional. Dalam rangka untuk mencapai optimalisasi pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat, salah satunya diperlukan potret atau gambaran masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hasil survei BPS yang bekerja sama dengan Departemen kehutanan (cq. Badan Planologi Kehutanan) mengenai profil masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang dilakukan tahun 2004 bisa sedikit memberikan gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat dimaksud. artikel berikut mencoba menyajikan bagian-bagian penting dari profil soaial-ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang disarikan dari hasil survei tersebut.

PROFIL MASYARAKAT

Profil ini menggambarkan: jumlah penduduk (dalam rumah tangga dan anggota keluarga), distribusi umur dan jenis kelamin, tingkat pendidikan, kegiatan utama masyarakat.

Dari survei diperoleh data bahwa jumlah rumah tangga mencapai 7,8 juta dan sebagian besar tinggal di Jawa yaitu sekitar 5,2 juta (67,2 %) dan sisanya 2,6 juta (32,8 %) tinggal di luar jawa. Sedangkan total anggota rumah tangganya mencapai 29,9 juta orang dengan rincian 19,2 juta (64,4 %) di Jawa dan 10,6 juta orang (35,6 %) ada di luar jawa. Dari jumlah tersebut anggota laki-laki hampir berimbang dengan perempuan dengan rincian anggota laki-laki mencapai 15,2 juta orang (50,8 %) dan perempuan sekitar 14,7 juta orang (49,2 %). Sedangkan distribusi umur menurut golongan memperlihatkan bahwa golongan umur dibawah 14 tahun sekitar 8,9 juta orang (10 %), golongan umur 15-59 tahun sekitar 18,5 juta (62 %) dan sisanya sekitar 2,5 juta (8,2 %) berusia diatas 60 tahun.
Dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat, umumnya sangat rendah. Sebagian besar penduduk tidak mempunyai ijasah yaitu sekitar 12,8 juta (42,7 %), yang hanya berpendidikan sampai SD/setara mencapai 11,6 juta (39 %), yang berpendidikan SMP/setara mencapai 3,8 juta (12,3 %), sedangkan yag berpendidikan SMA/setara hanya 1,6 juta (5,2 %). Namun demikian terdapat juga penduduk walaupun kecil yang telah berpendidikan tinggi (D1/D2, D3, D4), tidak mencapai 1 %.

Apabila dilihat dari usia sekolah (7 s/d 18 tahun) yang mencapai 7,4 juta orang, memperlihatkan bahwa terdapat sekitar 200 ribu (2,8 %) yang tidak sekolah, 5,5 juta orang (74,8 %) bersatatus masih sekolah dan sisanya 1,7 juta (22,4 %) sudah tidak bersekolah lagi. Walaupun kelompok yang masih sekolah cukup tinggi, namun didominasi oleh kelompok umur 7-12 tahun (usia SD/setara).

Untuk kegiatan utama, BPS membagi dalam kegiatan bekerja, kegiatan sekolah, kegiatan mengurus rumah tangga dan kegiatan lainnya. Dari hasil survei memeprlihatkan bahwa anggota rumah tangga yang melakukan kegiatan bekerja mencapai 13,3 juta orang (54,9 %), kegiatan sekolah 3,6 juta orang (14,8 %), kegiatan mengurus rumah tangga sekitar 4,9 juta (20,3 %) dan kegiatan lain-lain mencapai 2,4 juta (10 %). Apabila diperbandingkan dengan angka-angka partisipasi sekolah menampakkan bahwa sebagian besar anak yang masih berstatus sekolah (5,5 juta) melakukan kegiatan bekerja, karena yang melakukan kegiatan utama sekolah hanya 3,6 juta.

Dari 13,3 juta orang yang melakukan kegiatan bekerja, ternyata sebagian besar (8,8 juta atau 36,6 % dari total anggota RT) bekerja di sektor pertanian selain kehutanan, sedangkan yang bekerja di subsektor kehutanan hanya mencapai sekitar 623 ribu orang (2,6 % dari total anggota RT) adapun yang bekerja di subsektor lainnya mencapai sekitar 3,9 juta (16 % dari total anggota RT). Jenis kegiatan kehutanan yang dilakukan antara lain: pemungutan hasil hutan/penangkapan satwa liar, penangkaran satwa, jasa penebangan kayu, usaha pembibitan, budidaya tanam kehutanan, jasa kehutanan lainnya.

Hasil dari kegiatan ini tentu menarik karena hanya sedikit sekali masyarakat yang kegiatan utamanya bekerja di subsektor kehutanan. Bisa jadi kegiatan kehutanan bagi sebagian besar masyarakat di dalam dan sekitar hutan hanya merupakan kegiatan sambilan, bukan merupakan kegiatan pokok, ini memerlukan kajian mendalam lebih lanjut.

PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN LAHAN

Pengkategorian penguasaan dan penggunaan lahan yang dilakukan oleh BPS dalam survei ini, beberapa yang penting adalah: a) Lahan yang dikuasai yaitu merupakan lahan milik sendiri ditambah lahan yang berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain baik di dalam maupun di luar kawasan hutan; b) Lahan yang dimiliki yaitu merupakan lahan yang berasal dari lahan pembelian, lahan warisan, lahan hobah dan lahan yang dimiliki berdasarkan landreform, permohonan biasa, pembagian lahan transmigrasi, hukum adat, serta penyerahan (konversi) dari program PIR-Bun; c) Lahan yang bersasal dari pihak lain terdiri dari lahan kehutanan dan lahan bukan kehutanan;
d) Lahan kehutanan merupakan lahan hutan milik negara yang dikuasakan kepada masyarakat dengan tujuan untuk dikelola bersama atau bisa juga lahan hutan yang dikelola masyarakat tanpa ijin (serobotan); e) lahan pertanian meliputi lahan sawah dan lahan bukan sawah; f) Perladangan berpindah merupakan suatu kegiatan usaha tani tanaman semusim/pangan secara tradisionil berpindah-pindah di dalam maupun di luar kawasan hutan tanpa memperhatikan aspek pelestarian sumberdaya hutan, tanah dan air.

Lahan yang dikuasai oleh rumah tangga rata-rata mencapai 7.957 m2 dengan rincian di Jawa rata-rata 4.108 m2 dan di luar Jawa 14.993 m2. Dari lahan yang dikuasai tersebut lahan yang dimiliki mencapai rata-rata 6.960 m2, dengan rincian di Jawa 3.242 m2 (78,93 % dari ratar-rata total lahan yang dikuasai di Jawa) dan di luar Jawa 13.774 m2 (91,87 % dari rata-rata total lahan yang dikuasai di luar Jawa). Sedangkan lahan kehutanan yang dikuasai mencapai rata-rata 648 m2 dengan rincian di Jawa rata-rata 660 m2 (16,06 % dari total lahan yang dikuasai di Jawa) dan diluar Jawa rata-rata 604 m2 (4,03 % dari total lahan yang dikuasai di luar Jawa).

Dari total lahan yang dikuasai seluas rata-rata 7.957 m2 tersebut yang merupakan lahan pertanian rata-rata mencapai 7.190 m2 (93,60 %) dan lahan bukan pertanian rata-rata 492 m2 (6,4 %), dengan rincian di Jawa rata-rata 3.834 m2 (93,35 % dari rata-rata total lahan yang dikuasai di Jawa) dan di luar Jawa rata-rata 14.055 m2 (93,74 % dari rata-rata total lahan yang dikuasai di luar Jawa. Ini memperlihatkan bahwa rumah tangga masyarakat di dalam dan sekitar hutan mesih mengandalkan kegiatan pertanian sebagai bagian penting kehidupannya.

Sedangkan yang melakukan perladangan berpindah ternyata tidak terlalu banyak, dari total rumah tangga 7,8 juta yang melakukannya hanya sekitar 260 ribu rumah tangga (3,33 %). Dengan rincian di Jawa mencapai sekitar 63 ribu rumah tangga (1,22 % total rumah tangga di Jawa) dan sekitar 196 ribu rumah tangga (7,65 % total rumah tangga di luar Jawa). Dari rumah tangga yang melakukan perladangan berpindah sebagian besar mengusahakannya hanya selama 1 – 2 tahun saja (73,4 %), yang mengusahakan selama 3-4 tahun hanya 19,75 %, serta sangat sedikit yang mengusahakan di atas 5 tahun (6,85 %).

TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Dalam survei, tingkat kesejahteraan masyarakat digambarkan melalui antara lain: kondisi perumahan, kepemilikan aset pokok rumah tangga, aksesibilitas terhadap fasilitas umum dan kesehatan.

Menurut BPS, kondisi perumahan merupakan gambaran kasat mata yang dapat dipakai untuk menilai suatu kesejahteraan masyarakat. Namun demikian gambaran dari kondisi tersebut tidak secara mutlak menentukan kesejahteraan rumah tangga tersebut, karena untuk beberapa daerah situasinya bisa berbeda antara yang satu dan lainnya, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan yang berkaitan dengan kesejahteraan rumah tangga.

Dari tipe bangunan rumah tangga sebagian besar rumah tidak panggung (74,95 %), tetapi untuk rumah tangga di dalam dan sekitar hutan di pulau Kalimantan mayoritas adalah rumah panggung, demikian juga di beberapa propinsi di pulau Sulawesi. Dan sebagian besar (94,25 %) sudah merupakan milik sendiri. Sedangkan dari segi luas lantai yang dikuasai menunjukkan bahwa kebanyakan rumah tangga di kawasan hutan berkisar 20 – 99 m2 (sekitar 85 %). Selanjutnya dilihat dari jenis lantai menunjukkan variasi mulai dari semen/plester (31,59 %), kayu (25,16 %), tanah (22,12 %), keramik (18,37 %) dan lain-lain (2,76 %). Untuk dinding rumah: menggunakan tembok (39,81 %), kayu (36,67 %), bambu (21,79 %), lainnya (1,83 %). Sebagian rumah tangga telah cukup menikmati aliran listrik yaitu mencapai 79,13 %.

Dari segi kepemilikan aset rumah tangga sebagian besar memiliki radio/tape dan telivisi/video (diatas 75 %), bahkan sekitar 25 % rumah tangga telah memiliki sepeda motor. Sedangkan kepemilikan kompor gas, lemari es, antena parabola masih di bawah 10 %.

Untuk aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan, rumah tangga yang bisanya berobat ke Rumah Sakit/Puskesmas/Poliklinik mencapai 46,75 %, yang berobat ke praktek petugas kesehatan ada sekitar 21,95 % dan yang mengobati sendir sekitar 21,52 %. Terlihat cukup besar rumah tangga yang mengobati sendiri jika menderita sakit.

Sedangkan aksesibilitas terhadap fasilitas umum menggambarkan bahwa yang masih dirasakan jauh (lebih dari 20 km) adalah fasilitas Kantor Pos (15 %) serta SMA dan kantor kecamatan (10 %). Untuk akses yang paling mudah (jarak 0,5 km) adalah tempat ibadah (66 %) dan SD/sederajat (37,3 %). Dan rata-rata untuk mencapai fasilitas yang cukup jauh menggunakan kendaraan umum.

KEGIATAN KEHUTANAN OLEH MASYARAKAT

Dalam survei ini kegiatan kehutanan yang dicatat adalah kegiatan pemungutan hasil hutan/penangkaran satwa liar dan usaha pemanfaatan wisata alam. Sedangkan hasil hutan yang dipungut meliputi: kayu bakar, kayu pertukangan, getah damar, getah jelutung, getah pinus, kulit kayu, buah-buahan, biji-bijian, rotan, tumbuhan obat, gaharu, satwa liar, madu, jamur, bambu, sarang burung dan lain-lain.

Dari sekitar 7,8 juta rumah tangga, yang melakukan pemungutan hasil hutan dan penangkaran mencapai 3,4 juta rumah tangga (43,59 %). Data ini menarik karena: pertama, ternyata tidak semua rumah tangga di dalam dan sekitar hutan melakukan kegiatan kehutanan; kedua, rumah tangga yang melakukan kegiatan kehutanan jauh lebih banyak dari jumlah anggota rumah tangga yang mempunyai kegiatan utama di sub sektor kehutanan (hanya 623 ribu orang). Hal ini bisa mengindikasikan bahwa kegiatan kehutanan hanya merupakan kegiatan sambilan bagi sebagian besar masyarakat di dalam dan sekitar hutan.


Dilihat dari jarak tempat tinggal ke lokasi pemungutan, memperlihatkan bahwa sebagian besar (2,94 juta rumah tangga atau 86,51 %) berkisar pada jarak 1- 5 km, sedangkan yang berjarak kurang dari 1 km sekitar 47 ribu rumah tangga (1,38 %), berjarak 6-10 km sekitar 234 ribu rumah tangga (6,88 %) dan lebih dari 10 km sekitar 177,81 ribu rumah tangga (5,22 %).

Sebagian dari masyarakat yang melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan tersebut juga melakukan usaha pemanfaatan wisata alam sebagai: pemandu wisata alam, penyewaan sarana wisata, menjual cindera mata, jasa akomodasi/restoran serta jasa lainnya. Namun total rumah tangga yang melakukannya tidak terlalu banyak hanya sekitar 29 ribu rumah tangga.


PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP KEHUTANAN

Survei ini juga ingin mengetahui seberapa jauh pengetahuan masyarakat terhadap beberapa hal yang terkait dengan kehutanan, antara lain pengetahuan terhadap: kawasan hutan, keberadaan batas kawasan hutan, kondisi hutan termasuk kerusakannya, keberadaan hutan adat, keterlibatan/partisipasi dalam kegiatan pembangunan kehutanan.

Dari 7,8 juta rumah tangga di dalam dan sekitar hutan yang mengetahui keberadaan kawasan hutan ternyata cukup banyak yaitu mencapai sekitar 5,54 juta rumah tangga (70,93 %). Mereka memperoleh informasi keberadaan kawasan hutan berasal dari: lurah/camat (7,8 %), petugas kehutanan (20,9 %), orang sekitar (57,94 %), mengikuti penyuluhan (0,75 %), Plang batas kawasan hutan (5,85 %) dan sumber lainnya (6,75 %). Dari rumah tangga yang mengetahui kawasan hutan tersebut, sebagian besar (75,73 %) mengetahui keberadaan batas-batas kawasan hutannya. Sedangkan jenis batas yang dikenali adalah: pal batas/tanda batas, jalan, sungai.

Sedangkan rumah tangga yang mengetahui adanya hutan tegakan mencapai 4,48 juta rumah tangga (57,41 %), sedangkan sisanya 3,32 juta rumah tangga (42,59 %) menyatakan tidak adanya tegakan hutan. Dari yang mengetahui adanya tegakan hutan, sekitar 2,7 juta rumah tangga (34,31 %) menganggap kondisi hutan telah rusak, sekitar 1,8 juta rumah tangga (23,1 %) menganggap kondisi hutan masih baik. Menurut mereka kondisi rusaknya hutan disebabkan oleh: kebakaran hutan, penebangan, perambahan, penambangan/penggalian.

Tentang keberadaan hukum adat, terdapat sekitar 910 ribu rumah tangga (11,64 %) yang berpendapat masih adanya hukum adat di daerahnya, dan sebagian besar (766 ribu rumah tangga atau 9,82 % dari total rumah tangga) menganggap bahwa hukum adat tersebut perlu dipertahankan.

Terhadap kegiatan pembangunan kehutanan antara lain: menjadi anggota kelompok Tani Hutan (KTH), pencegahan kebakaran, penyuluhan, reboisasi, pelestarian sumberdaya alam, sebagian masyarakat terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Dengan rincian hasil survei sebagai berikut: terdapat sekitar 730 ribu rumah tangga yang anggotanya terlibat dalam KTH, sedangkan yang terlibat pencegahan kebakaran sekitar 216 ribu rumah tangga (17,39 %), terlibat penyuluhan sekitar 231 ribu rumah tangga (18,59 %), terlibat reboisasi sekitar 433 ribu rumah tangga (34,77 %), terlibat pelestarian SDA sekitar 266 ribu rumah tangga (21,33 %).

POINT PENTING HASIL SURVEI

Dari hasil survei tersebut terdapat beberapa hal penting yang dapat dipetik untuk dijadikan sebagai salah satu bahan pengambilan kebijakan, terkait dengan pemberdayaan masyakarat, antara lain:
1. Terdapat hampir sekitar 3,4 juta rumah tangga (43,59 % dari total rumah tangga) yang melakukan kegiatan kehutanan (pemungutan hasil hutan/pemanfaatan wisata alam) namun hanya sekitar 623 ribu orang (2,6 % dari total anggota RT) yang melakukan kegiatan utama di sub sektor kehutanan. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun masyarakat didalam dan sekitar hutan masih melakukan kegitan kehutanan, namun mereka masih menjadikan sektor pertanian selain kehutanan sebagai kegiatan utama.
2. Sebagian besar masyarakat (sekitar 5,54 juta rumah tangga atau70,93 %) mengetahui keberadaan kawasan hutan. Namun demikian perlu untuk ditelusur lebih lanjut apakah pengetahuan keberadaan kawasan hutan, juga diikuti dengan pengakuan terhadap kawasan hutan sekaligus ikut menjaga keberadaannya.
3. Dari sekitar 7,8 juta rumah tangga ternyata yang terlibat dalam kegiatan pembangunan kehutanan hanya mencapai sekitar 1,2 juta rumah tangga, jumlah yang tidak mencapai seperempat dari total masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hal ini memperlihatkan bahwa keterjangkauan kegiatan pembangunan kehutanan masih terindikasi belum merata.
4. Survei belum bisa memperlihatkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan melalui data dan informasi pendapatan perkapita dari masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk mengetahui jumlah masyarakat miskinnya. Padahal data ini penting untuk dapat dijadikan baseline dalam menilai keberhasilan kegiatan pembangunan pemberdayaan masyarakat.
5. Survei juga belum bisa memperlihatkan, seberapa besar masyarakat yang tidak mempunyai lahan. Data ini penting untuk mengantisipasi seberapa besar pengaruh masyarakat yang berusaha merambah kawasan hutan, serta mempersiapkan langkah-langkah kegiatan tindak lanjut yang diperlukan.
* Perencana Madya Pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan,
Badan Planologi Kehutanan, Dephut.