Wednesday, January 23, 2008

PERSOALAN SOSIAL EKONOMI DI SEKITAR KAWASAN HUTAN

PENDAHULUAN
Secara hukum aspek legal kawasan hutan sudah kuat ditampung dalam peraturan perundangan kehutanan yang saat ini berlaku, mulai dari UU sampai dengan peraturan perundangan di bawahnya. Sehingga pada dasarnya eksistensi kawasan hutan sudah diakui secara Nasional. Namun demikian sampai saat ini keberadaan kawasan hutan selalu terusik oleh dinamika pembangunan secara keseluruhan. Salah satu aspek yang perlu dicermati adalah persoalan-persoalan sosial ekonomi di seputar kawasan hutan.
Dengan lebih memahami persoalan sosial ekonomi sekitar kawasan hutan, diharapkan penyiapan perencanaan untuk menuju kepada mantapnya aspek legal kawasan hutan akan dicapai. Disamping itu pemahaman ini juga dapat lebih mendukung para pengambil kebijakan khususnya dalam memutuskan segala sesuatu yang terkait dengan keberadaan kawasan hutan.
Ada banyak persoalan sosial ekonomi di sekitar kawasan hutan namun terdapat beberapa persoalan sosial ekonomi yang perlu mendapat perhatian lebih, antara lain: tenurial, perambahan kawasan hutan, kesenjangan antar kawasan, keberagaman lokasi, kemiskinan sekitar kawasan, benturan kepentingan antar sektor, otonomi daerah. Tulisan ini hanya akan membahas aspek-aspek penting sosial-ekonomi tersebut.

TENURIAL
Tidak ada batasan yang baku mengenai definisi tenurial, namun secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hak pemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Ada juga beberapa pendapat yang memaknai sebagai “land ownership” yang diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau kepentingan atas lahan (Djajono, 2006).

Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau negara. Pengakuan secara individu terhadap lahan yang bukan merupakan lahan yang dikuasai negara biasanya tidak menimbulkan banyak masalah karena sudah diatur secara tunggal dalam UU Agraria. Namun pengaturan hak penguasaan oleh kelompok atau negara masih menjadi polemik yang berkepanjangan.
Bagi pemerintah acuannya jelas pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Kawasan hutan” dikuasai oleh negara termasuk pengaturan-pengaturan terhadapnya, sedangkan hutan adat merupakan wilayah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat yang berada dalam hutan negara. Namun bagi sebagian besar masyarakat (khususnya masyarakat hukum adat) lahan “kawasan hutan” tersebut secara “de facto” adalah merupakan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat, bukan merupakan bagian dari hutan negara. Pengakuan hutan adat oleh masyarakat dalam UU memang telah disebutkan, namun pengaturannya belum jelas dan mendetail, sehingga muncul multi-interpretasi terhadap pengaturan “kawasan hutan” yang ada “hutan adat”nya..

Kesimpang-siuran pengaturan lahan kawasan hutan inilah yang selalu menimbulkan permasalahan tenurial yang sangat komplek dalam kawasan hutan. Dari sisi peraturan perundangan secara “de jure” pengakuan penguasaan terhadap kawasan hutan oleh pemerintah sudah jelas, namun secara “de facto” permasalahannya tidaklah sederhana. Apalagi model-model pengakuan penguasaan oleh masyarakat sangatlah lokal specifik, antara daerah satu dengan daerah lainnya sangatlah berbeda. Namun secara umum masyarakat hukum adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada di wilayahnya.

Apabila diamati terdapat beberapa tipe keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya dalam keterkaitannya dengan kawasan hutan. Pertama, yang terdapat dalam kawasan hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HPH/IUPHHK Hutan alam dan Hutan tanaman. Kedua, yang terdapat dalam kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung (HL). Ketiga, yang terdapat di hutan produksi yang tidak dibebani hak pengelolaan/pemanfaatan.

Pemberian hak kepada pihak swasta oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan dalam bentuk HPH/IUPHHK Hutan Alam maupun Hutan Tanaman biasanya selalu dipertentangkan dengan keberadaan hutan adat dalam kawasan hutan tersebut. Masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengaturan hak tersebut, mereka merasa dimarginalkan dari tanah yang mereka tinggali, mereka merasa tidak selalu mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan kawasan hutan tersebut.

Pada saat ini terdapat arus perjuangan yang sangat kuat dari masyarakat adat dengan dibantu oleh LSM/NGO untuk menggolkan keinginan pengakuan secara lebih jelas dan tegas terhadap keberadaan masyarakat adat dan lahan sebagai bagian dari gantungan kehidupan dan aktifitas kesehariannya. Arus tersebut mencoba menghilangkan pengakuan penguasaan lahan oleh negara khususnya terhadap lahan yang diakui sebagai bagian dari masyarakat adat.
Melalui berbagai pertemuan atau forum atau aksi baik secara Nasional, Regional maupun Global, mereka mencoba meyakinkan dan memperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan melalui kejelasan dalam suatu peraturan perundangan Nasional. Kalau perlu dengan mengamandemen atau merubah UU yang terkait dengan pengaturan lahan yang berhubungan dengan keberadaannya. Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya merupakan salah satu “entry point” yang selalu dipegang untuk memperjuangkan kejelasan yang lebih konkret terhadap pengakuan tenurial dalam kawasan hutan.

Banyak argumen yang melandasi keiinginan tersebut, antara lain:
Negara dianggap gagal dalam mengelola hutan, diindikasikan dengan: hancurnya hutan akibat eksploitasi berlebihan, makin sering terjadinya banjir dan tanah longsor, semakin terdegradasinya hutan, gagalnya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam dan sekitar hutan.
Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sejak lama, menunjukkan kelestarian dalam pengelolaannya contoh: Repong damar di Lampung.
Peraturan perundangan yang ada memarginalkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat cenderung hanya dianggap sebagai obyek dari suatu pengelolaan hutan.
Makin terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan, program, kegiatan yang digagas oleh pemerintah.

Permasalahan tenurial banyak ditemui di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, dengan specifikasi bentuk masyarakat adat yang sangat berbeda dari daerah satu dengan daerah lainnya.

PERAMBAHAN KAWASAN
Berbeda dengan persoalan di atas, permasalahan perambahan kawasan hutan lebih disebabkan pada kurangnya lahan usaha masyarakat sekitar hutan. Ada kecenderungan masyarakat untuk mengokupasi kawasan hutan yang ada, atau memanfaatkan lahan kawasan hutan untuk usaha pertanian/perkebunan.
Dalam kondisi ini biasanya keterikatan masyarakat dalam suatu komunitas masyarakat adat sudah tidak ada, okupasi yang dilakukan lebih kepada kepentingan individu akibat keterdesakan sempitnya lahan usaha. Termasuk dalam katagori ini masyarakat yang masih mempraktekkan pola perladangan berpindah


Masyarakat umumnya mengetahui bahwa yang mereka okupasi atau dirambah adalah kawasan hutan negara, yang tidak dengan serta merta dapat mereka miliki. Namun mereka biasanya menuntut dibukanya akses dalam pemanfaatan hutan, baik lahannya maupun potensinya. Kondisinya sangat mirip dengan persoalan “pemukiman di kolong tol” atau “keberadaan pedagang kaki lima di trotoar”, mereka sadar dan mengetahui telah menduduki lahan yang bukan menjadi miliknya.
Kondisi ini biasanya terjadi di seputar kawasan hutan yang cukup padat penduduknya, al: kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani di Jawa, kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Lampung atau Sumetera Selatan, Praktek perladangan berpindah di sebagian Sumatera dan Kalimantan.

KERAGAMAN LOKASI DAN KESENJANGAN ANTAR KAWASAN.
Keragaman kondisi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan hutan adalah suatu keniscayaan. Hampir tidak ditemui adanya keseragaman social buadaya antar wilayah, pasti ada perbedaan kondisi sosial budaya anatara daerah satu dengan daerah lainnya. Disamping itu keragaman juga ditunjukkan oleh potensi yang ada di daerah masing-masing, ada daerah yang miskin SDA dan ada daerah yang kaya SDA. Potensinya pun bisa berbeda-beda ada yang kaya SDA pertambangan, ada yang kaya SDA kehutanan, ada yang kedua-duanya, atau ada daerah yang miskin dua-duanya.
Sedangkan untuk kesenjangan biasanya terdapat ketimpangan antara wilayah sekitar kawasan hutan sebagai daerah “rural” dan wilayah perkotaan sebagai daerah “urban”. Ditinjau dari aspek sosial biasanya terkait dengan ketersediaan fasilitas sar-pras pendukung standar hidup layak, misal: sar-pras pendidikan, kesehatan, transportasi, pemukiman, jaringan air bersih. Wilayah “rural” timpang dengan wilayah “urban”.
Untuk kesenjangan ekonomi akan terlihat jelas bagaimana lengkapnya aspek-aspek pendukung kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dibandingkan dengan wilayah “rural”. Keterbatasan akses ekonomi akan sangat menghambat proses perkembangan di wilayah “rural”.

KEMISKINAN DI SEKITAR KAWASAN
Gunawan Sumodiningrat (2005) membedakan 2 jenis kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatannya masing-masing kemiskinan absolut dan relatif dan 3 jenis kemiskinan berdasarkan penyebabnya, masing-masing kesenjangan dan kemiskinan natural, kultural dan struktural.



Pertama, kemiskinan absolut digambarkan apabila tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan, atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja.
Kedua, Kemiskinan relatif digambarkan apabila tingkat pendapatannya telah berada di atas garis kemiskinan namun masih lebih miskin dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok miskin relatif ini sangat rentan terhadap perkembangan situasi perkembangan perekonomian. Apabila perkembangan perekonomian memburuk keompok ini dapat terjerumus kedalam kelompok miskin absolut.
Ketiga, kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti perbedaan usia, perbedaan kesehatan, perbedaan geografis tempat tinggal. Mereka tidak memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam maupun sumberdaya pembangunan laiinnya.
Keempat, kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat, perbedaan etika kerja, dan lainnya. Kemiskinan ini mengacu pada sikap hidup sesorang yang disebabkakan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kelompok masyarakat ini sulit untuk diajak berpartisipasi dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, sulit untuk melakukan perubahan serta biasanya menolak mengikuti perkembangan.
Kelima, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan ekonomi yang diskriminatif, korupsi-kolusi, serta tatanan perekonomian yang menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Kemiskinan ini bisa dikatakan sebagai ”pemiskinan”, karena kemiskinannya dibuat oleh faktor-faktor yang secara sengaja diterapkan pada kelompok ini.
Yang tidak bisa dielakkan adalah adanya kenyataan bahwa hampir semua masyarakat di seputar kawasan hutan adalah masyarakat miskin. Dan kemiskinan tersebut bisa dikategorikan dalam 5 jenis kemiskinan yang disebutkan di atas. Di setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan yang bisa saja tidak sama, karena factor salah satunya adalah keberagaman lokasi dan kesenjangan kawasan seperti telah diuraikan di atas.




BENTURAN KEPENTINGAN ANTAR SEKTOR DAN OTONOMI DAERAH
Selain permasalahan tenurial, ruang kehutanan juga mendapat tekanan-tekanan dengan dalih untuk keperluan pembangunan sektor non kehutanan, yang memerlukan ekstensifikasi lahan antara lain: untuk pertanian/perkebunan, untuk pemukiman, untuk pertambangan (Djajono, 2006).
Dalam peraturan perundangan kehutanan keinginan sektor lain untuk memanfaatkan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, telah diatur sedemikian rupa, sesuai dengan asas-asas umum berkenaan dengan pengaturan ruang kehutanan. Namun diakui pengaturan ruang kehutanan bagi kepentingan lain diatur sangat ketat, banyak prosedur yang harus ditempuh. Hal ini wajar untuk diatur karena keberadaan sumberdaya hutan sangat vital yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan.
Ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan dan perpaduan banyak faktor antara lain:euforia otonomi daerah, tingginya tuntutan pembangunan ekonomi, minimnya ruang gerak untuk ekstensifikasi lahan, telah memunculkan “hasrat” yang sangat tinggi untuk melakukan review atau penyempurnaan terhadap tata ruang khususnya dengan merubah wilayah yang tadinya diperuntukkan bagi kawasan hutan, dengan menggunakan celah seperti yang telah diatur dalam UU Penataan Ruang, yaitu bahwa rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai jenis perencanaannya secara berkala dengan tetap menghormati hak dimiliki oleh setiap orang. Review inilah yang apabila tidak dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan hati-hati akan mengancam eksistensi dan keberadaan kawasan hutan.
Faktor otonomi daerah merupakan pembuka peluang untuk melakukan review tata ruang yang tidak optimal. Otonomi daerah telah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan pembangunan di wilayahnya sesuai dengan karakteristik masing-masing, serta berlandaskan pada arah dan kebijakan daerah dengan tujuan untuk mencapai kemajuan di wilayahnya. Namun otonomi daerah ini dibanyak tempat disalah artikan sebagai semacam kebebasan mengekspresikan keinginan daerah untuk termasuk memaksakan penetapan atau perubahan tata ruang dengan tidak memperhatikan peraturan perundangan lainnya.
Tingginya tuntutan ekonomi telah dijadikan salah satu dasar pertimbangan lainnya, sebagai alasan untuk pembenaran untuk ikut mendukung keiinginan merubah tata ruang. Mengingat bahwa ruang yang terbesar adalah kawasan hutan, maka yang banyak menjadi sasaran untuk dirubah tata ruangnya adalah kawasan hutan.
Disinilah “konflik” itu terjadi, review/perubahan tata ruang dipergunakan oleh daerah untuk merubah atau mengkonversi ruang kehutanan menjadi non kehutanan tanpa melalui prosedur perubahan seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangan kehutanan.

Review dipergunakan sebagi pembenaran untuk menghindari ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan. Apalagi bila review tersebut telah menjadi kesepakatan banyak pihak de daerah termasuk dengan lembaga legeslatif.
Di sisi lain Departemen Kehutanan sebagai instansi pemerintah yang diberi tugas penguasaan dan tanggung jawab terhadap kawasan hutan tentu akan mengajukan argumen-argumen yuridis, ekologis, sosial dan ekonomi, bahwa walaupun perubahan itu diperlukan, namun tetap harus melalui prosedur pengaturan ruang kehutanan yang berlaku. Bisa dicontohkan antara lain bahwa merubah kawasan hutan produksi (HP) menjadi kawasan non kehutanan untuk perkebunan atau pertanian harus mengikuti ketentuan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan melalui pelepasan kawasan hutan yang prosedur dan persyararatannya sangat ketat.
Sehingga tidak dapat dihindarikan “tarik ulur” akan terjadi, Kehutanan akan dianggap sebagi penghambat pembangunan dan pengembangan wilayah. Apalagi akhir-akhir ini sudah tidak dapat lagi diandalkan sebagi sumber pendapatan ekonomi untuk pembangunan wilayah, termasuk makin terdegradasinya kawasan-kawasan hutan yang ada. Bahkan pembangunan kehutanan telah dianggap sebagai “cost center”.

Bahan Bacaan:
1. Anonim, Sebagian Negara Asia Pasifik akan Gagal, Tak Bisa Mencapai Target-target MDG’s, Kompas, Agustus 2005.
2. Djajono, Ali, Perencanaan Ruang Kehutanan dan Masalahnya, Agro Indonesia, 2006
3. Sumodiningrat, Gunawan, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Balajar, Tahun 1998.
4. Sumodiningrat, Gunawan, MDG’s dan Indonesia, Kompas, Agustus 2005.