Sunday, January 4, 2009

DINAMIKA PERKEMBANGAN KAWASAN HUTAN
Oleh : Ali Djajono*
Sebagai institusi Pemerintah yang diberi beban tanggung jawab menangani dan mengurusi kawasan hutan, sudah selayaknya kalau Departemen Kehutanan dalam merancang pembangunan kehutanan harus selalu berbasis kawasan. Artinya kawasan hutan termasuk isi, potensi, keberadaan dan pengaruhnya bagi sektor lain harus selalu menjadi fokus dalam penyusunan rencana kehutanan. Ironisnya data informasi tentang kawasan hutan yang komprehensif dan akurat untuk mendukung hal tersebut belum tersedia.
Departemen Kehutanan telah memenuhi kewajiban dalam menyusun rencana pembangunan (sesuai amanat UU. No. 25 tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan) yang merupakan bagian dari Rencana Pembangunan secara Nasional yaitu masing-masing: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kehutanan 2006-2025, Rencana Strategis Kementerian/Lembaga 2005-2009 dan Rencana Pembangunan Tahunan (Rencana Kerja Kementerian/Lembaga). Dengan kesadaran bahwa rencana pembangunan ini masih dilandasi oleh keterbatasan data informasi tentang kawasan hutan yang komprehensif dan akurat. Oleh karena itu penggambaran identifikasi awal eksistensi kawasan hutan dengan segala permasalahannya menjadi bagian yang sangat penting dalam melandasi penyusunan rencana kehutanan.
Tulisan dibawah ini mencoba untuk menyampaikan informasi dinamika perkembangan kawasan hutan yang merupakan gambaran proses perubahan-perubahan dalam kawasan hutan. Uraiannya terbatas pada gambaran umum dinamika dan tidak sampai pada penyajian data dan informasi yang lengkap tentang keberadaan dan kondisi kawasan hutan terkini.

RAGAM DINAMIKA KAWASAN
Kawasan hutan Indonesia di klaim seluas 120,35 juta Ha dan terdistribusi dalam fungsi konservasi, lindung dan produksi. Data luasan ini telah dirilis sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam perkembangannya luasan tersebut tidaklah statis atau tidak berubah-ubah, dinamika perkembangan pembangunan wilayah baik di dalam sektor kehutanan sendiri maupun non kehutanan berimplikasi pada perubahan kawasan hutan baik status maupun fungsinya. Apabila ditengok per wilayah, ada wilayah-wilayah provinsi tertentu yang berkurang luasannya, ada yang bertambah bahkan ada yang tetap. Sehingga sampai dengan saat ini luasan kawasan hutan sebenarnya sudah tidak lagi 120,35 juta Ha.
Sebelum melihat lebih lanjut dinamika perubahan kawasan hutan, perlu ditinjau eksistensi status dan fungsi kawasan hutan hingga saat ini. Kaberadaan kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari proses pengukuhan kawasan hutan, mulai dari penunjukan, penataan batas kawasan, pemetaan dan penetapan kawasan hutannya. Sampai dengan saat ini kondisi kawasan hutan di Indonesia dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan, antara lain: a) kawasan hutan yang belum ditata batas, b) kawasan hutan yang telah ditata batas, tetapi masih dalam proses pengesahan dan penetapannya, c) kawasan hutan yang sebagian batasnya telah ditata batas dan disahkan oleh Mentari Kehutanan, d) kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Tingkatan-tingkatan tersebut mengandung konsekwensi hukum keberadaan kawasan hutan. Namun sayang keberadaan dokumen-dokumen pendukung termasuk petanya sebagian besar tercerai berai. Kondisi ini terjadi terutama akibat dari proses transisi desentralisasi/otonomi daerah yang tidak terkontrol sejak tahun 1999.
Sedangkan dinamika perubahan kawasan hutan bersumber pada antara lain: a) kebutuhan lahan kawasan hutan untuk pembangunan non kehutanan yang semakin luas, b) kebutuhan untuk merubah fungsi kawasan hutan sesuai dengan kondisi terkini fungsi kawasan, c) bertambahnya kawasan hutan sebagai akibat sikap konservasionis serta keinginan beberapa pihak terkait untuk menambah luasan kawasan hutan, d) bertambahnya kawasan hutan sebagai konsekwensi kompensasi dari kegiatan sektor non kehutanan dalam kawasan hutan., e) perubahan kawasan hutan sebagai akibat dari review tata ruang suatu daerah.
Dalam konteks kehutanan, perubahan kawasan hutan tersebut prosedur pemenuhannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dari tingkat UU sampai dengan Surat Keputusan atau Peraturan Menteri Kehutanan. Secara umum perubahan kawasan hutan yang mengakibatkan berubahnya luasan maupun fungsi kawasan hutannya, dapat diklasifikasikan, antara lain kedalam: a) Perubahan Peruntukan kawasan hutan, b) penggunaan kawasan hutan, c) perubahan fungsi kawasan hutan, d) penunjukan partial kawasan hutan. Masing-masing diuraikan di bawah ini.
Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah berubahnya suatu kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dan kawasan tersebut diperuntukan/dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perubahan peruntukan kawasan hutan ditetapkan bahwa yang bisa dirubah peruntukan kawasan hutannya adalah kawasan hutan produksi (HP) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), dengan proses yang ditempuh melalui 3 prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan, yaitu: a) Apabila terjadi pada kawasan HPK, maka prosesnya tinggal melepaskan status kawasan hutannya menjadi non kawasan hutan (perubahan status kawasan hutan/pelepasan kawasan hutan); b) Apabila terjadi pada HP pada wilayah Kab/Kota/Provinsi yang mempunyai HPK, maka prosesnya melalui relokasi fungsi terlebih dahulu, baru kemudian HP yang telah direlokasi ke HPK, dapat dilepas/dirubah status kawasan hutannya; c) Apabila terjadi pada HP pada wilayah Kab/Kota/Provinsi yang tidak mempunyai HPK maka prosesnya melalui tukar menukar, yaitu menyediakan areal pengganti bagi HP yang akan dilepas/dirubah status kawasan hutannya.
Jenis kegiatan pembangunan di luar kehutanan yang biasanya ditempuh melalui prosedur ini contohnya antara lain: pembangunan perkebunan/pertanian, transmigrasi, pemukiman, relokasi penduduk akibat bencana alam, pembangunan wilayah perkantoran.
Penggunaan kawasan hutan yang sering dilakukan melalui prosedur pinjam pakai kawasan hutan pada dasarnya merupakan penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, fungsi serta peruntukan kawasan hutannya.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada terindikasi bahwa pada dasarnya penggunaan kawasan hutan hanya diperbolehkan pada kawasan HP dan Hutan Lindung (HL) saja. Khusus untuk HL tidak boleh (dilarang) melakukan kegiatan pada wilayah permukaan (contoh: tidak boleh melakukan pola penambangan secara terbuka/open pit mining).
Sedangkan prosedur pinjam pakainya ditempuh melalui 2 cara, yaitu: a) Pinjam Pakai Tanpa Kompensasi, diberlakukan hanya pada kegiatan non komersiil yang dilaksanakan dan dimiliki instansi pemerintah serta berada di wilayah provinsi yang luas kawasan hutannya lebih dari 30 % dari luas daratan provinsi yang bersangkutan; b) Pinjam Pakai Dengan Kompensasi, diberlakukan pada kegiatan penggunaan kawasan hutan yang tidak memenuhi ketentuan seperti diatur pada butir a.
Jenis kegiatan pembangunan diluar kehutanan yang biasanya ditempuh melalui prosedur ini, contohnya antara lain: pembangunan pertambangan (batu bara, timah, nikel, emas dll), pembangunan instalasi gas dan perminyakan, pembangunan ketenagalistrikan, pembangunan jalan.
Perubahan fungsi kawasan hutan dapat diartikan sebagai perubahan suatu fungsi kawasan hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lainnya, contoh mudah untuk menggambarkan ini adalah perubahan fungsi kawasan hutan lindung (HL) menjadi hutan produksi (HP) atau perubahan fungsi kawasan hutan produksi (HP) menjadi Taman Nasional (TN). Perubahan fungsi ini terjadi biasanya disebabkan oleh karena suatu perkembangan yang mengharuskan suatu fungsi kawasan hutan tersebut harus dirubah, sehingga kawasan hutan tersebut dapat berfungsi sesuai dengan kondisinya. Atau terjadinya kekeliruan awal dalam penunjukan atau penetapan fungsinya sehingga dalam perkembangan terakhir kawasan tersebut perlu dirubah fungsinya.
Contoh dari perubahan fungsi kawasan hutan ini antara lain: a) penambahan luasan TN Halimun Salak yang tambahan luasannya berasal dari HP dan HL, yang berari merubah fungsi HP dan HL menjadi TN; b) Perubahan fungsi beberapa kawasan hutan Hl dan Kawasan Konservasi lain di Lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menjadi TN Merapi dan Merbabu; c) Perubahan fungsi beberapa kawasan HP dan HL di Batang Gandis Sumatera Utara menjadi TN Batang Gandis.
Penunjukan partial dapat diartikan sebagai penunjukan suatu lahan/areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan baru diluar penunjukan kawasan hutan provinsi yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Penunjukan partial ini bisa meliputi seluruh fungsi kawasan hutan baik itu menjadi Hutan Konservasi (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan Taman Buru), Hutan Lindung (HL) maupun maupun Hutan Produksi (HP).
Contoh dari penunjukan partial kawasan hutan antara lain: penunjukan TN Sebangau Kalimantan Tengah, penunjukan kawasan hutan pada areal/lahan kompensasi pada kegiatan penggunaan kawasan hutan, penunjukan kawasan hutan pada areal/lahan penukar pada kegiatan tukar-menukar kawasan hutan.
IMPLIKASI DINAMIKA
Dinamika perkembangan kawasan hutan melalui perubahan kawasan hutan tersebut dengan sendirinya akan mempengaruhi besaran luasan kawasan hutan dari penunjukan kawasan hutan provinsi yang telah ditunjuk sebelumnya. Proses perubahan peruntukan kawasan hutan yang melalui pelepasan kawasan hutan akan mengurangi luasan kawasan hutan. Proses perubahan peruntukan kawasan hutan melalui tukar menukar kawasan hutan akan menambah luasan kawasan hutan atau minimal tetap. Proses perubahan fungsi kawasan hutan akan merubah luasan masing-masing fungsi kawasan hutan. Penunjukan partial kawasan hutan akan menambah luasan kawasan hutan.
Disamping perubahan kawasan hutan yang telah diatur terdapat aktifitas diluar kehutanan yang juga sangat mempengaruhi besaran luasan kawasan hutan antara lain: keinginan yang sangat kuat dalam review tata ruang dengan antara lain merubah kawasan hutan tanpa melalui prosedur yang diatur, serta permasalahan konflik lahan dalam kawasan hutan.


SITUASI SAAT INI
Kondisi ideal untuk menggambarkan potret kawasan hutan akan tercapai apabila setiap proses yang akan mempengaruhi kawasan hutan secara otomatis akan selalu mengupdate besaran luasan kawasan hutannya. Namun sayang situasi saat ini kondisinya jauh dari bentuk ideal seperti itu. Kendala yang ditemui dalam kondisi riil saat ini digambarkan antara lain sebagai berikut:
1. Dokumen-dokumen tata batas (al: berita acara tata batas, peta tata batas, surat keputusan Menteri) yang membuat kedudukan status hukum kawasan hutan menjadi kuat ternyata sebagian tercerai berai sulit dilacak keberadaannya. Pengelolaan dokumen tersebut hingga saat ini masih terkesan terabaikan. Sehingga kondisi ideal berupa data/informasi kawasan hutan yang uptodate dan mudah untuk diakses belum terwujud. Departemen Kehutanan (cq. Badan Planologi Kehutanan) saat ini sedang melakukan tertib dokumen tata batas ini.
2. Data/informasi perubahan kawasan hutan juga tidak tersimpan dalam database yang memadai serta tertata dengan baik. Mestinya setiap perubahan peruntukan kawasan hutan (melalui perubahan status kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, dan relokasi fungsi hutan), penggunaan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, serta penunjukan partial bisa secara otomatis memperbaiki besaran luasan kawasan hutannya di masing-masing fungsi hutan. Namun hal tersebut sangat sulit diwujudkan, bahkan terkesan masing-masing proses yang akan memepengaruhi besaran luasan kawasan hutan tersebut seolah-olah berproses sendiri, jarang berkoordinasi satu dengan lainnya.. Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh belum ditaatinya prosedur aliran data/informasi yang seharusnya dijalankan, serta belum ada kejelasan siapa yang menangani koordinasi dan sinkronisasi aliran data/informasi tersebut. Dampak buruknya adalah belum tersajinya data/informasi perubahan kawasan hutan yang uptodate (terkini) serta mudah mengaksesnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Departemen Kehutanan sedang berupaya menyusun dan membangun program aplikasi database di masing-masing perubahan kawasan hutan. Namun sayangnya antara proses perubahan yang satu dengan proses perubahan yang lainnya masing-masing belum terkoordinasi dengan baik. Sehingga masih sulit untuk memperoleh potret kawasan hutan yang senyatanya.
Masih ada lagi data/informasi yang diperlukan untuk melengkapi gambaran menyeluruh dari potret kawasan hutan, yaitu: maraknya usulan review tata ruang provinsi/Kab/Kota serta banyaknya konflik lahan dalam kawasan hutan yang tentu saja sangat mempengaruhi eksistensi kawasan hutan. Untuk permasalahan yang satu ini ternyata juga tidak tertangani secara optimal.
Departemen Kehutanan belum mempunyai pola standar untuk mengatasi persoalan ini, baik kebijakan baku melalui payung hukum peraturan perundangan maupun program-program solusi untuk mengatasinya.
Sehingga hal yang paling mendasar untuk dilakukan saat ini adalah mendapatkan gambaran potret kawasan hutan yang senyatanya, dengan melakukan pembenahan terlebih dahulu aliran data/informasi dan ketertiban data/informasi dokumentasi perubahan kawasan hutan yang terjadi, serta penanganan segera review tata ruang dan konflik lahan.
SARAN
Saran yang dapat diusulkan, antara lain:
1. Secepatnya melakukan identifikasi kelengkapan dokumen-dokumen batas kawasan hutan yang telah dilakukan, serta menyajikannya dalam dokumentasi yang tertata serta mudah untuk diakses.
2. Merancang/membangun satu system aplikasi database yang dapat mengintegrasikan semua aplikasi database perubahan kawasan hutan yang sedang disusun serta terintegrasi dengan perkembangan dokumen tata batasnya.
3. Dibentuk atau ditunjuk 2 institusi/lembaga di internal Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan) yang satu ditugasi khusus untuk menangani koordinasi dan sinergi aliran data/informasi perubahan kawasan hutan, sedang lainnya menangani khusus review tata ruang dan konflik lahan dalam kawasan hutan.
4. Untuk tahap awal cukup dilakukan pembenahan aliran data/informasi perubahan kawasan hutan dan penanganan konflik lahan serta review tata ruang di salah satu provinsi. Pembelajaran di satu provinsi ini dapat dijadikan acuan untuk penanganan di provinsi lainnya.

* Perencana Madya Pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan,
Badan Planologi Kehutanan, Dephut.