Friday, May 4, 2007

DE-BIROKRATISASI

LANGKAH RADIKAL UNTUK SEBUAH
PROFESIONALISME BIROKRASI


Ada banyak penyebab mengapa bangsa Indonesia terpuruk seperti saat ini, salah satu yang paling mendasar adalah tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi “penyumbang” timbulnya KKN tersebut. Aparat birokrasi di Indonesia sangat terkenal dengan keterlambatan, malas, tidak efisien, kurang tanggap, tidak inovatif, rendah moral, budaya minta dilayani dll. Intinya sangat minim dengan profesionalisme. Selama bertahun-tahun masyarakat yang sadar bahwa birokrasi Indonesia tidak profesional hanya bisa “bermimpi” memperoleh pelayanan birokrasi yang profesional. Bisakah mimpi masyarakat diwujudkan?, nampaknya perlu langkah plus tindakan radikal yang harus dilakukan oleh unsur penyelenggara negara untuk mewujudkannya. Walaupun disadari langkah dan tindakan tersebut tetap berpotensi menghadapi implikasi-implikasi sosial politik yang sangat tinggi khususnya dari lingkungan birokrasi.

Langkah radikal yang perlu diambil akan menyangkut antara lain: perubahan peraturan perundangan menyangkut segala pengaturan mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI; Perombakan dalam sistem administrasi pengelolaan penganggaran khususnya yang mengatur penggunaan APBN/APBD; Pegurangan jumlah PNS untuk memperoleh jumlah PNS yang proporsional dan sesuai dengan tugasnya. Langkah-langkah tersebut bukannya berdiri sendiri-sendiri tetapi sangat terkait satu dengan lainnya.

Peraturan perundangan yang menyangkut mengenai pengaturan birokrasi lebih banyak merupakan produk-produk selama orde baru, dimana pada masa itu PNS telah dijadikan alat politik kekuasaan untuk dapat dijadikan mesin politik dan sekaligus untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu pengaturan tersebut tidak mencerminkan penyelenggaraan birokrasi yang profesional. Walaupun semenjak reformasi telah dicanangkan untuk melakukan perombakan birokrasi, namun upaya tersebut tidak dilakukan menyeluruh sehingga hasilnya belum tampak secara signifikan.

Kelemahan pengaturan yang menghambat menuju ke taraf birokrasi profesional meliputi antara lain:
1. Belum adanya sistem yang akurat dalam menilai “kinerja” masing-masing aparat birokrasi sesuai dengan kompetensinya.
Contoh: lemahnya penerapan sistem “reward and punishment”. Sampai saat ini masih terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kerja dan malas, karena tetap berpenghasilan sama.
2. Belum jelasnya sistem pola karir dalam menjaring aparat-aparat yang berkualitas sesuai kompetensinya, dengan tujuan akhir mendapatkan pimpinan-pimpinan yang berkualitas.
3. Masih lemahnya penerapan penegakan hukum disiplin aparat. Contoh: sangat sulit untuk memecat PNS, walaupun yang bersangkutan katakanlah telah ingkar kerja beberapa hari dalam setiap minggunya. Aturan yang ada membuat senang “aparat malas kerja” sekaligus menyulitkan para atasan yang ingin menegakkan disiplin.

Maka langkah perubahan peraturan perundangan birokrasi yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan aturan yang memuat ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Aturan baru yang tercipta harus mampu membuat jera para birokrat, misal: a) menciptakan kemudahan untuk dapat memberi sanksi kepada aparat yang ingkar kerja tanpa alasan jelas, kalau perlu diciptakan kemudahan untuk dapat memecat, atau b) aparat yang sudah jadi minimal tersangka kasus tindak pidana kejahatan (korupsi, narkoba, pungli, memeras dll) langsung dilakukan pemecatan. Disamping itu aturan baru juga dapat menggairahkan birokrat yang berkinerja bagus malalui kemudahan untuk memperoleh insentif-insentif yang konkret misal: naik pangkat, naik gaji, promosi, beasiswa untuk keluarganya dsb. Tentu saja pengaturan yang ketat dan tegas ini harus diiringi dengan gaji yang memadai, yang salah satunya dapat diperoleh melalui perombahakan dalam sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD.

Sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD yang berlaku saat ini (walaupun menurut Departemen Keuangan telah dilakukan beberapa perbaikan) masih menampakkan celah-celah bagi para birokrat melakukan manipulasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD. Ditinjau dari struktur masih menampakkan item-item kegiatan yang sangat boros menggunakan biaya, misal: kemudahan pengadaan sarana/prasarana yang tidak prioritas (pengadaan kendaraan dinas, pembangunan gedung, pembelian alat-tulis kantor), masih dominannya biaya untuk perjalanan dinas para birokrat yang tumpang tindih bahkan ada anekdot “1 bulan bisa mencapai 40 hari”, kemudahan mengadakan seminar/lokakarya atau rapat pembahasan yang dibiayai oleh negara. Ditinjau dari sisi pelaksanaan kegiatan dan administrasi pertanggungjawaban masih menggunakan cara-cara lama, misal: aparat yang melakukan perjalanan dinas keluar kota akan memperoleh penggantian ongkos transport dan lumpsum harian dengan bukti “visum” pada surat perintah perjalanan dinas (SPPD), padahal bisa saja dipraktekkan ybs tidak melakukan perjalanan tapi cukup “mengirim” SPPDnya.

Praktek pengelolaan penggunaan dana APBN/APBD seperti beberapa contoh di atas baik secara struktur maupun praktek harus dirubah total, dengan menggunakan misalnya sistem yang dipraktekkan dalam perusahaan-perusahaan swasta. Contoh kecil yang mungkin efektif dapat digambarkan sebagai berikut: aparat yang akan melakukan perjalanan dinas sudah disediakan tiket tranportnya sekaligus tempat ybs menginap dengan dibekali uang harian sekadarnya. Perombakan dalam sistem pengelolaan penganggaran APBN/APBD akan sangat menghemat anggaran, sekaligus penghematan tersebut dapat dipergunakan untuk memperbaiki struktur gaji birokrat sehingga layak untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Yang terakhir terkait dengan banyaknya jumlah birokrat di jajaran pusat maupun daerah. Secara kasat mata akan nampak bahwa birokrasi kita sangat gemuk namun miskin kinerja dan pelayanan prima kepada masyarakat. Gemuknya birokrasi merupakan warisan “orde baru”, pada masa itu rekruitmen pegawai sangat kental diwarnai kepentingan politis (termasuk salah satunya tindakan populis melalui penyerapan tenaga kerja) dan bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), sehingga terjadi pengabaian terhadap uji kompetensi terhadap calon birokrat yang bersangkutan. Kesalahan dalam sistem rekruitmen seperti itu telah melahirkan sebagian besar birokrat yang tidak sadar bahwa dia sebenarnya adalah “abdi negara”, palayan masyarakat yang dalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh uang rakyat. Yang terjadi adalah minimnya kreatifitas, efektivitas dalam melaksanakan pekerjaan.

Oleh karena itu, tindakan pengaturan jumlah birokrat sangat urgen untuk dilaksanakan, dengan konsekwensi pengurangan secara besar-besaran terhadap para birokrat yang tidak produktif serta yang kerjanya hanya mengganggu pelayanan kepada masyarakat.
Pengurangan secara radikal tersebut harus dilandasi oleh kajian, argumentasi serta dukungan peraturan perundangan yang jelas, transparan dan berkeadilan, termasuk mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat (misal: guru, dosen, perawat, dokter). Hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerapan kebijakan tersebut. Pengurangan ini harus secara significan menjaring para birokrat yang potensial untuk bekerja efektif serta layak untuk mendukung birokrasi yang profesional. Bagaimana dengan birokrat yang tersingkir ?, untuk para birokrat disediakan beberapa alternatif pilihan yang dirancang untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintah sengaja ingin menciptakan pengangguran baru dan harus ada penyadaran pada semua pihak bahwa pengurangan para birokrat tersebut semata-mata untuk menyelamatkan uang rakyat, serta bahwa para birokrat tersebut apabila digaji maupun tidak digaji tidak merpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat. Alternatif-alternatif yang dapat diajukan antara lain: pensiun dini dengan pesangon beberapa kali gaji (ingat bahwa birokrat tersebut masih mendapatkan uang pensiun walaupun sudah tidak bekerja).

Tindakan-tindakan radikal tersebut harus didahului dengan sosialisasi dan kalau perlu semacam gerakan nasional kepada para pihak yang terkait untuk mendapatkan respon sekaligus untuk mengetes sampai seberapa jauh reaksi ekonomi-politik berbagai pihak terhadap kebijakan dimaksud. Respon dan reaksi ekonomi-politik dapat untuk memperkaya kajian dan analisis lebih lanjut terhadap tindakan radikal itu, sehingga kebijakan yang akan diambil dapat meminimalisir resistensi beberapa pihak serta mendapatkan dukungan publik yang luas.

Mendambakan birokrasi profesional memang seolah “mimpi di siang bolong”, dia termasuk barang langka di negeri ini. Tapi kalau ada tindakan radikal yang dapat mewujudkan mimpi tersebut, mengapa tidak dicoba?.

No comments: